30/09/2014 12:46
Pekanbaru (ANTARA News) - Ada jutaan jiwa terperangkap belenggu asap yang mengancam kehidupan, "merantai" keinginan balita dan mengurung keleluasaan aktivitas para orang tua dalam mencari nafkah.
Pagi yang cerah mulai berganti kelam, ketika sinar matahari terhalang polusi asap dan embun tersusup butiran halus seperti abu. Kalangan pekerja harus tetap mencari nafkah, ibu rumah tangga memaksa diri berbelanja, pelajar berusaha tetap pergi ke sekolah.
Tidak sedikit dari mereka memaksa terlepas dari belenggu asap, memberanikan diri beraktivitas di luar rumah dan gedung tanpa mengenakan masker, pelindung rongga pernafasan dari serangan penyakit infeksi saluran pernafasan.
Peristiwa luar biasa itu telah menjadi hal yang biasa terjadi di daratan Provinsi Riau. Setiap tahun sejak 17 tahun terakhir, sejumlah wilayah kabupaten/kota termasuk Pekanbaru tidak pernah lepas dari belenggu bencana asap dampak dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan.
Menurut data Dinas Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sejak 17 tahun terakhir telah ratusan ribu hektare hutan di Riau yang hangus terbakar.
Sebagian besar saat ini telah beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit dan bahkan hutan tanam industri. Itu menjadi bukti, peristiwa yang begitu menyiksa jutaan jiwa, telah dinikmati hasilnya oleh segelintir kalangan yang membentuk korporasi.
Peristiwa itu kini kembali datang, membelenggu ragam aktivitas berbagai kalangan.
Dinas Kesehatan Provinsi Riau menyatakan kualitas udara di berbagai kabupaten/kota di wilayah itu dalam dua hari terakhir kian memburuk akibat kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan asap.
"Ini bukan merupakan hal yang pertama terjadi namun telah berulang kali, bahkan dalam satu tahun terakhir," kata Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (P4L), Dinas Kesehatan Riau, Andra S, di Pekanbaru, Rabu (17/9).
Ia mengatakan dengan kondisi udara yang terus memburuk atau berada pada level tidak sehat, maka sebaiknya masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah atau gedung.
Alat indeks standar polutan udara (ISPU) yang berada di beberapa wilayah kabupaten/kota terakhir menyatakan kondisi penurunan kualitas yang berarti sudah bahaya bagi kesehatan manusia.
Dinkes Riau mengimbau masyarakat untuk mengantisipasinya dengan mengurangi aktivitas di luar rumah atau gedung. Kalau tidak terlalu penting, demikian Andra, sebaiknya tetap berada di dalam rumah atau kantor karena jika dipaksakan itu bisa membahayakan kesehatan.
Merusak Masa Depan Bangsa
Kebakaran hutan dan polusi asap, sejak 17 tahun lalu hingga saat ini masih menjadi hambatan nyata pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan perekonomian.
Bencana asap, kerap memaksa pihak sekolah untuk meliburkan aktivitas belajar-mengajar guna mengantisipasi para murid terkena berbagai penyakit. Sejumlah perusahaan dan kantor-kantor pemerintahan juga selalu mempersempit waktu kerja para karyawannya.
"Tanpa disadari, bencana kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahunnya tanpa henti hingga menyebabkan polusi asap telah merusak masa depan bangsa ini," kata pemerhati lingkungan dari Universitas Riau Tengku Ariful Amri.
Kebakaran lahan telah menghancurkan sumber daya alam dan itu menurut dia terbukti dilakukan dengan sengaja hanya untuk meningkatkan derajat ekonomi sekelompok orang.
Parahnya lagi, demikian Ariful, Riau tidak pernah lepas dari bencana asap yang terjadi terus menerus setiap tahunnya. Untuk patut diketahui, bahwa bencana asap juga telah menjatuhkan harkat dan martabat bangsa ini di tingkat masyarakat internasional, lebih spesifiknya lagi di Asia Pasific.
Karena menurut dia, asap hasil kebakaran hutan dan lahan ini terbukti telah sampai ke berbagai negara tetangga khususnya Malaysia dan Singapura.
Dengan kondisi demikian, menurut dia pemerintah telah gagal membangun konservasi sumber daya alam yang artinya menjadi kehancurkan masa depan bangsa ini.
"Kedepan semua pihak harus bersama-sama mengatasi persoalan bencana kebakaran lahan dan kabut asap ini dan harus dilakukan antisipasi cepat dan tepat," katanya.
Karena dengan kondisi kerusakan lingkungan yang sedemikian parah, pemerintah menurut dia membutuhkan dana besar dan waktu panjang untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, terlebih tanpa ketersediaan sumber daya alam yang memadai.
Bencana tahunan itu menurut Ariful tanpa disadari pula, telah mendatangkan kerugian yang dahsyat. Jika Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) merilis kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp50 triliun, pemerhati justru menyatakan lebih dari itu, atau mungkin tak tergantikan sama sekali.
Kerugian lainnya yang lebih penting menurut Ariful adalah; runtuhnya kepercayaan masyarakat internasional terhadap bangsa Indonesia. Terlebih, revitalisasi yang akan dilakukan kedepan, akan jauh lebih besar biayanya dibandingkan dengan keuntungan yang didapat melalui alihfungsi lahan yang selama ini dilakukan.
Eksploitasi sumber daya alam yang tidak memiliki pola termasuk pembakaran lahan untuk perkebunan dan hutan industri, hanya akan mendatangkan kesengsaraan secara massal. Maka hentikan!
"Bencana ini juga menyebabkan punahnya keanekaragaman hayati yang tidak bisa digantikan oleh manusia, secanggih apapun cara berpikirnya, dan sejenius apapun pola pikirnya," kata dia.
Dengan demikian, kerugian yang telah merentang di depan mata ini, menurut dia memang harus dibayar mahal oleh bangsa ini untuk kembali bangkit dalam membenahi perekonomian masa depan.
Jika tidak segera diatasi, menurut dia hal itu justru akan memutuskan mata rantai pembangunan berkelanjutan. "Karena pembangunan tidak lepas dari faktor ekonomi, dan ekonomi berkelanjutan itu dapat dilakukan dengan cara bagaimana memanfaatkan SDA dengan tidak memusnahkannya untuk ketersediaan anak-cucu di masa yang akan datang."
Negara ini harus segera terlepas dari polusi asap, karena telah 17 tahun bencana itu mengancam kehidupan secara massal. Kesadaran itu bisa dimulai dari para orang tua yang menginginkan anak dan cucunya kelak terbebas dari belenggu kesengsaraan. (FZR)
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © 2014