Seorang kuli biasa. Lahir di Banyuwangi, menyelesaikan sekolah di Bima, Kuliah di Makassar, lalu jadi selengkapnya
Selamat Hari Raya Idul Adha
Oleh: Muhammad Toha
Peristiwa ini telah lama lewat, lebih dari 27 tahun silam. Namun setiap menjelang Idul Adha, ibarat sketsa film, peristiwa itu seolah-olah tayang kembali.
Sehari menjelang Idul Adha tahun 1987, seluruh siswa di sekolah kami-SD kampung di salah satu desa di Banyuwangi Jawa Timur-dikumpulkan di halaman untuk mendengar pengarahan dari Kepala Sekolah. Seperti ritual tahunan, di akhir acara, Kepala Sekolah mengumumkan siswa penerima kupon kurban, khusus bagi siswa yatim piatu dan keluarga fakir miskin, untuk ditukar dengan sekantung daging kurban.
Sebagian besar penduduk di desa kami adalah petani, buruh tani dan tukang serabutan yang kemiskinannya telah turun temurun sejak zaman Belanda. Di masa itu, saya masih kerap dapati warga di desa kami makan nasi aking-nasi sisa yang dikeringkan lalu dimasak kembali, untuk bisa mengganjal perut. Maka Idul Adha bagi sebagian besar warga desa kami, adalah kesempatan untuk memakan daging-simbol kemewahan yang dinikmati setidaknya setahun sekali. Hanya saja karena hewan yang dikurbankan setiap tahunnya tak lebih dari 2 ekor, maka daging kurban hanya diberikan kepada warga yang benar-benar miskin dan anak yatim piatu.
Aku tidak terlalu menyimak pengumuman pagi itu, karena aku mengenal teman-temanku yang yatim piatu dan fakir miskin, yang aku pastikan mereka bakal menjadi penerima kupon kurban. Saat Kepala Sekolah memanggil nama mereka, satu persatu mereka menghadap ke depan, menerima kupon lalu berdiri berjejer di samping beliau.
Menjelang akhir pengumunan, seolah-olah Kepala Sekolah memanggil sebuah nama yang tak asing. Saya nyaris tak percaya, tetapi saat saya melongok ke depan, mataku menangkap sosok gadis kecil dan kurus itu sudah berdiri di depan Kepala sekolah. Tangannya yang mungil menjulur menerima selembar kupon yang disodorkan Kepala Sekolah. Tak salah lagi; gadis kecil itu adikku yang duduk di kelas 1 SD.
Saya tak tahu seperti apa perasaan adikku, tapi aku yakin dia masih terlalu belia dan lugu. Sementara aku yang duduk kelas 4 SD, sangat paham apa arti kupon kurban itu. Aku tak kuasa menyembunyikan sedih, haru dan malu. Wajahku menunduk, tak tega melihat adikku menjadi tontonan teman-teman sekolahku.
Kesedihanku saat itu terasa bertambah pahit lantaran Lebaran kali ini, aku dan adikku bakal merayakannya tanpa kedua orang tuaku. Tatkala semua keluarga berkumpul dan berbahagia, aku justru sudah beberapa bulan tak bertemu dengan bapak dan ibuku.
Masih teringat, suatu hari menjelang tengah malam 3 bulan lewat, ibu dan bapakku memeluk dan mendekap aku dan adikku bergantian dengan erat sekali. Sambil tak henti membelai dan menciumi kami bergantian, Ibuku tak kuasa menahan isak tangis. Wajahnya berurai air mata. Sementara bapakku mencoba tegar, tetapi setitik air mata menggenang di sudut matanya. Saya sendiri karena kantuk, tak terlalu paham apa yang terjadi malam itu. Dipangkuan ibuku, dengan terbata-bata bapakku membisikkan pesan, “jangan nakal ya nak. Jaga dirimu dan adikmu”. Selepas itu, sekoyong-koyong Bapak dan Ibuku pergi dengan menenteng tas, sementara aku dan adikku melanjutkan tidur ditemani nenekku.
Keesokan paginya, ketika adikku menangis karena tak mendapati ibu sewaktu terbangun, barulah aku diberitahu, ternyata semalam itu adalah perpisahan kedua orang tuaku. Seperti orang terusir, kedua orang tuaku meninggalkan Pulau Jawa dengan hanya berbekal beberapa lembar pakaian. Sengaja mereka berangkat tengah malam, untuk menghindari gunjingan para tetangga. Nenekku menyebut, Bapak-Ibuku merantau jauh ke Bima-yang belakangan baru saya tahu daerah ini ada di Pulau Sumbawa. “Kapan Bapak dan Ibu pulang, Mbah?” tanyaku kepada nenek. Jawaban nenekku justru membuatku tambah sedih, “Mbah tak tahu”.
Aku dan adikku pun hidup bak anak ayam kehilangan induk. Aku tinggal dengan nenekku yang karena uzur, beliau tak sanggup lagi bekerja. Nyaris, seluruh kebutuhan hidup kami ditopang oleh paman dan bibiku yang tukang serabutan. Alhasil, Aku dan adikku pun harus memulai hidup baru; Tak ada lagi lauk pauk kesukaanku, tak ada lagi uang jajan, tak ada lagi seragam baru, dan tak ada lagi baju baru untuk lebaran. Kami hidup serba kekurangan. Aku pun belakangan tahu, adikku “terpilih” menjadi penerima kupon kurban, karena lebih 3 bulan menunggak pembayaran SPP.
Orang tuaku sebenarnya bukanlah keluarga kaya, tapi mereka pun bukan keluarga miskin. Dengan bisnis mereka di pasar, setidaknya segala kebutuhan keluarga kami tercukupi. Awalnya semuanya berjalan lancar, bisnis mereka tumbuh cukup pesat. Tetapi karena persaingan usaha yang bertambah ketat, usaha mereka mulai seret. Mereka mulai terlilit hutang yang dari waktu ke waktu semakin menumpuk. Puncaknya di tahun 1987, usaha mereka bangkrut. Seluruh harta dilego, nyaris tak tersisa, bahkan gelas dan piringpun dijual untuk melunasi hutang, itupun belum cukup untuk menutupi seluruh hutang mereka.
Tatkala terpuruk dan membutuhkan pertolongan, justru satu persatu teman dan keluarga kami menjauh. Inikah aib bagi orang yang kalah? Kita akan dikelilingi teman dan sahabat tatkala jaya, namun mereka akan berpaling tatkala kita terpuruk! Bangkrut, jatuh miskin dan terlilit hutang itulah yang akhirnya memaksa kedua orang tuaku meningalkan Jawa, dan meninggalkan aku dan adikku bak sebatang kara.
Siang mulai terik, di lapangan sekolah yang riuh oleh siswa yang bergembira karna esok lebaran, aku hanya dapat tertunduk. Aku tersadar, inilah status baru keluarga kami: keluarga fakir miskin! Sepulang sekolah, dengan riangnya adikku menyerahkan kupon kurban itu ke nenekku, dan dengan bangganya dia berceloteh sewaktu namanya disebut sebagai penerima kupon kurban. Dia bercerita laiknya mendapat undian lotre, sementara aku yang menyaksikannya hanya bisa tersenyum kecut!
***
Tatkala aku dan adikku menyusul ke Bima beberapa bulan setelah peristiwa itu, dan memulai hidup baru di perantauan, kemiskinan rupanya tak kunjung segara berlalu. Aku pun mulai dipaksa akrab dengan kemiskinan dan mesti terbiasa menjadi olok-olokan teman sepermainan.
Sebagai pedagang kaki lima yang berjualan di jalanan, orang tuaku tidak punya banyak pilihan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup kami sehari-hari. Di kontrakan kami, tak ada barang mewah yang kami miliki. Bahkan untuk alas tidur pun, bertahun-tahun lamanya, aku tidur hanya beralas tikar pandan, yang jika bangun di pagi hari, maka punggungku akan penuh dengan gambar seperti papan catur, bekas “stempelan” tikar pandan.
Maka, jika setiap Lebaran haji, panitia kurban rutin mendatangi kontrakan kami dan menyerahkan kupon daging kurban untuk ditukar dengan sekantong daging kurban, aku sudah mulai maklum. Tak ada lagi kesedihan tatkala menerima kupon kurban, sebab aku telah paham: kami memang miskin!
****
Hari raya Kurban bagiku bukan sekedar sebuah perayaan untuk meneladani peristiwa agung; kepasrahan dan kepatuhan Nabi Ibrahim dalam melaksanakan perintah Tuhan untuk mengurbankan putranya Ismail. Dalam konteks sosial, Lebaran Kurban bagiku juga bermakna; sebuah momen emas untuk berbagi kenikmatan dengan orang-orang yang punya keterbatasan, sehingga di hari itu, mereka pun dapat menikmati makanan dan minuman yang setara dengan kita.
Tahun telah berlalu, dan kendati kini aku bukan seorang kaya raya, tetapi setiap menjelang Idul Adha, selalu ada keinginan besar untuk dapat berkurban. Selain sebagai wujud ketaatanku pada Tuhanku, lebih dari itu, ada misi “imbal budi” yang hendak aku balaskan atas daging kurban yang selalu aku nikmati sekian tahun yang silam.
Di hari-hari menjelang Idul Adha, doa dan pujian pun tak henti aku panjatkan kepada penguasa hidupku atas karunia dan rejeki yang dititipkan kepadaku. Dalam syukurku, tulus aku bermunajat; Tuhanku, terimalah Kurbanku!
Selamat Hari Raya Idul Adha!
Catatan: Adik di bawahku persis sebenarnya kembar. Tetapi semenjak kecil, mereka diasuh terpisah, dan belakangan menyusul kami pindah ke Bima.
Dede Kurniawan
Cikarang Utara - Bekasi 17530+6281314098451, WA +628888080984, PIN : 7C94EEC8